Senin, 25 Februari 2013

TRADE OFF ANTARA EFISIENSI DAN KEADILAN (EQUITY)

Teman-teman pasti sering mendengar kata-kata trade off, efisiensi maupun keadilan. Tetapi kebanyakan kalian tidak tahu apa arti dari masing-masing kata itu. Mari kita bahas satu persatu arti dari 3 kata tersebut kemudian hubungan yang ditimbulkan dari trade off antara efisiensi dan keadilan

Apa sih yang dimaksud dengan trade off, efisiensi atau keadilan?

Pada dasarnya, setiap manusia pernah menghadapi yang namanya trade off. Trade off itu sendiri didefinisikan sebagai ituasi dimana seseorang harus membuat keputusan terhadap dua hal atau lebih, mengorbankan/kehilangan suatu aspek dengan alasan tertentu untuk memperoleh aspek lain dengan kualitas yang berbeda sebagai pilihan yang diambil. Contohnya Pada hari Sabtu, Denta dihadapkan pada 2 pilihan yaitu: pulang kampung atau mengikuti kegiatan seminar mahasiswa Akuntansi. Jika Denta memilih pulang kampung, ia akan bahagia karena dapat melepas rindu dengan keluarganya tercinta. Tetapi, ia juga akan mengeluarkan biaya transportasi sekitar Rp. 50.000,00. Dan jika Denta memilih untuk mengikuti kegiatan seminar, ia akan mendapat wawasan dan pengalaman lebih yang berguna bagi kehidupannya. Dan uang yang dikeluarkan untuk mengikuti seminar sebesar Rp. 20.000,00. Misalkan dalam situasi ini, Denta memilih untuk mengikuti kegiatan seminar. Maka yang dikatakan trade off adalah pilihan untuk pulang kampung, karena pilihan tersebut telah dikorbankan demi mengikuti kegiatan seminar.  

Efisien menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu tepat atau sesuai untuk mengerjakan (menghasilkan) sesuatu (dengan tidak membuang-buang waktu, tenaga, biaya),  mampu menjalankan tugas dengan tepat dan cermat,  berdaya guna, bertepat guna. Sedangkan efisiensi adalah penggunaan sumber daya secara minimum guna pencapaian hasil yang optimum. Efisiensi menganggap bahwa tujuan-tujuan yang benar telah ditentukan dan berusaha untuk mencari cara-cara yang paling baik untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Efisiensi hanya dapat dievaluasi dengan penilaian-penilaian relatif, membandingkan antara masukan dan keluaran yang diterima. Misalnya suatu pekerjaan dapat dikerjakan dengan cara A dan cara B. Untuk cara A dapat dikerjakan selama 1 jam sedangkan cara B dikerjakan dengan waktu 3 jam. dengan begitu dengan cara A (cara yang benar) baru bisa dikatakan cara yang efisien bila dibandingkan dengan cara B. Efisien lebih kearah melakukan sesuatu dengan benar (do the thing right)

Keadilan menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) berarti sifat perbuatan perlakuan yang adil. Jadi dapat disimpulkan keailan ialah sebagai perlakuan atau perbuatan yang dalam pelaksanaannya memberikan kepada pihak lain sesuatu yang semestinya harus diterimanya. Dalam pengertian itu terkandung makna untuk melaksanakan hak dan kewajiban tanpa mengalami atau adanya paksaan.
Keadilan merupakan suatu hasil pengambilan keputusan yang mengandung kebenaran, tidak memihak, dapat dipertanggung jawabkan, dan memperlakukan setiap orang pada kedudukan yang sama dihadapan hukum. 

Lantas, apa hubungannya trade off antara efisiensi dengan keadilan?

Melihat dari definisi diatas, maka efisiensi sangat diperlukan dalam kehidupan sehari-hari.  Tetapi bagaimana jika efisiensi menjadi satu konsep dengan keadilan, efisiensi berkeadilan, dan itu ada dalam ranah bangunan perekonomian nasional? Di mana perekonomian nasional yang tercantum dalam sebuah Undang-undang Dasar akan selalu mengandaikan adanya kepentingan nasional di sini?
Problematika antara efisiensi dan keadilan, seperti yang ditunjukkan oleh Arthur M. Okun dalam bukunya Equality and Efficiency: The Big Tradeoff (1975), seperti dikutip oleh Mathis:
“… the antagonism between efficiency and distributive justice as the greatest socioeconomics goal conflict of all, because the concept of efficiency follows the principle of the insatiability of needs: This concept of efficiency implies that more is better, insofar as the ‘more’ consists of items that people want to buy” 
Tetapi di satu pihak, seperti contoh di atas yaitu pengelolaan pelabuhan yang tidak efisien, pada ujungnya adalah juga terkait dengan ketidak-adilan bagi para pengusaha pengguna jasa pelabuhan. Atau contoh lain yaitu penghamburan budget negara untuk pembelian mobil-mobil dinas yang mewah, padahal keperluan perbaikan sekolah-sekolah bagi rakyat masih diperlukan. Dengan mengambil salah satu contoh yang terjadi di Swiss, Klaus Mathis kemudian menarik kesimpulan bahwa efisiensi adalah selalu menjadi salah satu aturan atau bagian dari keadilan.
Banyak aspek yang sebenarnya terkait dengan konsep efisiensi dan konsep keadilan, dan juga problematika di antara keduanya, seperti yang dikatakan oleh Mathis, ada tiga kemungkinan ketika efisiensi dan keadilan yang keduanya mempunyai tujuannya masing-masing, disandingkan, yaitu (1) terjadi harmoni, (2) netral, dan (3) munculnya konflik diantara tujuan-tujuan keduanya. Hal ini ditegaskan oleh Mathis dengan mengutip pendapat Arthur M. Okun:
"[The] tradeoff […] between equality and efficiency […] is, in my view, our biggest socioeconomic tradeoff, and it plagues us in dozens of dimension of social policy. We can’t have our cake market efficiency and share it equally”
Contohnya seandainya anda punya uang 100 ribu rupiah untuk diberikan. Datang ke anda X dan Y yang memerlukan bantuan. X sedang kelaparan, 2 hari tidak makan, dan tidak punya ongkos pulang. Y adalah pedagang pisang goreng yang sedang laris2nya dan membutuhkan tambahan modal. Dengan tambahan 100 ribu Y bisa mendapatkan keuntungan yang signifikan lebih besar sehingga bisa mendapat tambahan dana untuk menghidupi keluarganya. Pertanyaannya: kepada siapa uang itu akan anda berikan? Jika anda berikan pada X, maka anda bersikap "adil". X sangat membutuhkannya saat ini juga, Y masih bisa menunggu (entah kapan). Jika anda berikan pada Y, maka anda memilih efisiensi sebagai dasar keputusan anda. Dengan resource yang sama, Y akan menghasilkan output yang lebih besar dibanding jika uang itu diberikan pada X.
Di sini kita lihat ada trade-off antara efficiency dan equity. Saya tidak hendak membahas mana yang terbaik tetapi hanya ingin menunjukkan bahwa dalam hampir semua hal efficiency itu bekerja berlawanan arah dengan equity (keadilan). Dalam keputusan publik, pemerintah suatu saat berhak memilih equity sebagai
argumen keputusannya. Dalam hal ini tak usah teriak soal efisiensi, minimalkan saja inefisiensinya dan terimalah keputusan itu sebagai keputusan politis negara.

Minggu, 17 Februari 2013

AUDIT KINERJA SEKTOR PEMERINTAH

  Audit kinerja berasal dari 2 kata yaitu "audit" dan "kinerja". Definisi audit menurut arens adalah kegiatan pengumpulan dan evaluasi terhadap bukti-bukti yang dilakukan oleh orang yang kompeten dan independen untuk melaporkan dan menentukan tingkat kesesuaian antara kondisi yang ditemukan dan kriteria yang ditetapkan. Sedangkan menurut Stephen P.Robins kinerja merupakan hasil evaluasi terhadap pekerjaan yang telah dilakukan dibandingkan dengan kriteria yang telah ditetapkan bersama. Selanjutnya pada pasal 4 ayat 3 UU No 15 tahnun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara mendefinisikan audit kinerja sebagai audit atas pengelolaan keuangan negara yang terdiri atas audit aspek ekonomi dan efisiensi serta audit efektifitas. Audit kinerja (audit operasional) bertujuan untuk menilai apakah
sumber daya ekonomi yang tersedia telah dikelola secara ekonomis,efisien, dan efektif. Sebelum membahas lebih lanjut mengenai audit kinerja, alangkah baiknya kalo kita harus mengetahui apa itu Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) beserta sejarahnya.

APIP
    Aparat Pengawas Internal Pemerintah adalah unit organisasi di lingkungan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Kementerian Negara, Lembaga Negara dan Lembaga Pemerintah Non Departemen yang mempunyai tugas dan fungsi melakukan pengawasan dalam lingkup kewenangannya. Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) terdiri dari BPKP (bertanggung jawab kepada Presiden), Itjen Departemen/LPND (bertanggungjawab kepada tiap-tiap Menteri/Pimpinan LPND), dan Inspektorat/Badan Pengawas Daerah (Bawasda) Propinsi/Kabupaten/Kota yang bertanggungjawab kepada Kepala Daerah.
Sebagaimana struktur pengawasan yang ada sekarang ini, maka fungsi pengawasan internal pemerintah disetiap tingkatan pemerintahan diperlukan keberadaannya sebagai satuan pengawas internal pemerintah agar penyelenggaraan pemerintahan berjalan dengan baik dan benar. Presiden selaku kepala pemerintahan membutuhkan informasi dan laporan hasil pengawasan dari BPKP, begitu juga dengan Gubernur maupun Bupati/Walikota juga membutuhkan informasi dan laporan hasil pengawasan dari Inspektorat/Bawasda masing-masing. Mari masing-masing kita bahas satu persatu mengenai BPKP maupun Itjen Departemen/LPND :

SEJARAH BPKP
 
A. Djawatan Akuntan Negara (DAN)
    Sejarah Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) tidak dapat dilepaskan dari sejarah panjang perkembangan lembaga pengawasan sejak sebelum era kemerdekaan. Dengan besluit Nomor 44 tanggal 31 Oktober 1936 secara eksplisit ditetapkan bahwa Djawatan Akuntan Negara (Regering Accountantsdienst) bertugas melakukan penelitian terhadap pembukuan dari berbagai perusahaan negara dan jawatan tertentu. Dengan demikian, dapat dikatakan aparat pengawasan pertama di Indonesia adalah Djawatan Akuntan Negara (DAN). Secara struktural DAN yang bertugas mengawasi pengelolaan perusahaan negara berada di bawah Thesauri Jenderal pada Kementerian Keuangan.
    Dengan Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 1961 tentang Instruksi bagi Kepala Djawatan Akuntan Negara (DAN), kedudukan DAN dilepas dari Thesauri Jenderal dan ditingkatkan kedudukannya langsung di bawah Menteri Keuangan. DAN merupakan alat pemerintah yang bertugas melakukan semua pekerjaan akuntan bagi pemerintah atas semua departemen, jawatan, dan instansi di bawah kekuasaannya. Sementara itu fungsi pengawasan anggaran dilaksanakan oleh Thesauri Jenderal.

B. Direktorat Jenderal Pengawasan Keuangan Negara (DJPKN)
    Sejarah berdirinya DJPKN dimulai dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 239 Tahun 1966 yang semula diberi nama DDPKN (Direktorat Djenderal Pengawasan Keuangan Negara). Tugas DDPKN (dikenal kemudian sebagai DJPKN) meliputi pengawasan anggaran dan pengawasan badan usaha/jawatan, yang semula menjadi tugas DAN dan Thesauri Jenderal.

DJPKN mempunyai tugas melaksanakan pengawasan seluruh pelaksanaan anggaran negara, anggaran daerah, dan badan usaha milik negara/daerah. Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 70 Tahun 1971 ini, khusus pada Departemen Keuangan, tugas Inspektorat Jendral dalam bidang pengawasan keuangan negara dilakukan oleh DJPKN.

C. Badan Pengawasan Keuangan dan Pengembangan
    Dengan diterbitkan Keputusan Presiden Nomor 31 Tahun 1983 tanggal 30 Mei 1983. DJPKN ditransformasikan menjadi BPKP, sebuah lembaga pemerintah non departemen (LPND) yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Salah satu pertimbangan dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 31 Tahun 1983 tentang BPKP adalah diperlukannya badan atau lembaga pengawasan yang dapat melaksanakan fungsinya secara leluasa tanpa mengalami kemungkinan hambatan dari unit organisasi pemerintah yang menjadi obyek pemeriksaannya. Keputusan Presiden Nomor 31 Tahun 1983 tersebut menunjukkan bahwa Pemerintah telah meletakkan struktur organisasi BPKP sesuai dengan proporsinya dalam konstelasi lembaga-lembaga Pemerintah yang ada. BPKP dengan kedudukannya yang terlepas dari semua departemen atau lembaga sudah barang tentu dapat melaksanakan fungsinya secara lebih baik dan obyektif.
Tahun 2001 dikeluarkan Keputusan Presiden Nomor 103 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen sebagaimana telah beberapa kali diubah,terakhir dengan Peraturan Presiden No 64 tahun 2005. Dalam Pasal 52 disebutkan, BPKP mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan keuangan dan pembangunan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam melaksanakan tugas, BPKP menyelenggarakan fungsi :
  1. pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional di bidang pengawasan keuangan dan pembangunan;
  2. perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pengawasan keuangan dan pembangunan;
  3. koordinasi kegiatan fungsional dalam pelaksanaan tugas BPKP;
  4. pemantauan, pemberian bimbingan dan pembinaan terhadap kegiatan pengawasan keuangan dan pembangunan;
  5. penyelenggaraan pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang perencanaan umum, ketatausahaan, organisasi dan tatalaksana, kepegawaian, keuangan, kearsipan, hukum, persandian, perlengkapan dan rumah tangga
Dalam menyelenggarakan fungsi tersebut, BPKP mempunyai kewenangan :
  1. penyusunan rencana nasional secara makro di bidangnya;
  2. perumusan kebijakan di bidangnya untuk mendukung pembangunan secara makro;
  3. penetapan sistem informasi di bidangnya;
  4. pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan otonomi daerah yang meliputi pemberian pedoman, bimbingan, pelatihan, arahan, dan supervisi di bidangnya;
  5. penetapan persyaratan akreditasi lembaga pendidikan dan sertifikasi tenaga profesional/ahli serta persyaratan jabatan di bidangnya;
  6. kewenangan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku

INSPEKTORAT JENDERAL
    Yang akan kita bahas di sini adalah Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan yang juga termasuk dalam Aparat Pengawas Internal Pemerintah. Inspektorat Jenderal mempunyai tugas melaksanakan pengawasan intern di lingkungan Kementerian Keuangan. Inspektorat Jenderal berdasarkan Pasal 1435 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.01/2010 mempunyai tugas melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
    Dalam melaksanakan tugas tersebut, maka sesuai dengan pasal 1436 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.01/2010 Inspektorat Jenderal menyelenggarakan fungsi : 

  1. Penyiapan perumusan kebijakan pengawasan intern di lingkungan Kementerian Keuangan
  2. Pelaksanaan pengawasan intern di lingkungan Kementerian Keuangan terhadap kinerja dan keuangan melalui audit, reviu, evaluasi, pemantauan, dan kegiatan pengawasan lainnya 
  3. Pelaksanaan pengawasan untuk tujuan tertentu atas penugasan Menteri Keuangan 
  4. Penyusunan laporan hasil pengawasan di lingkungan Kementerian Keuangan, dan 
  5. Pelaksanaan administrasi Inspektorat Jenderal. 
   Itjen Kemenkeu bertanggung jawab dan melaporkan hasil pekerjaannya kepada Menteri Keuangan Republik Indonesia. Itjen Kemenkeu mempunyai 9 (sembilan) unit Eselon II yang terdiri atas :
  1. Sekretariat Inspektorat Jenderal; 
  2. Inspektorat I;
  3. Inspektorat II ;
  4. Inspektorat III;
  5. Inspektorat IV;
  6. Inspektorat V;
  7. Inspektorat VI; 
  8. Inspektorat VII; dan
  9. Inspektorat Bidang Investigasi
   Itjen Kemenkeu mengawasi unit-unit Eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan. Adapun tugas masing-masing Inspektorat adalah sebagai berikut :
1.Inspektorat I mengawasi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) 
2.Inspektorat II mengawasi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai(DJBC)
3.Inspektorat III mengawasi Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) dan Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang (DJPU)
4.Inspektorat IV mengawasi Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) dan Badan Kebijakan Fiskal (BKF)
5.Inspektorat V mengawasi Direktorat Jenderal Anggaran (DJA) dan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK)
6.Inspektorat VI mengawasi Sekretariat Jenderal (Setjen), Badan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK), serta Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan (BPPK)
7.Inspektorat VII mengawasi Inspektorat Jenderal Kemenkeu 
8.Inspektur Bidang Investigasi melakukan audit investigasi terhadap pegawai di seluruh Unit Eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan 
Perbedaan Audit Kinerja dan Audit Keuangan 
 Perbedaan antara audit kinerja dan audit keuangan, menurut The Swedish National Audit Office (BPK Swedia) :
Aspek
Audit Kinerja
Audit Keuangan
Tujuan
Menilai apakah auditee telah mencapai tujuan atau harapan yang ditetapkan.
Menilai apakah akun-akun benar dan disajikan secara wajar.
Fokus
Program dan kegiatan organisasi.
Sistem akuntansi dan sistem manajemen.
Dasar Akademik
Ekonomi, Ilmu Politik, Sosiologi, dan lain-lain
Akuntansi.
Metode
Bervariasi antara satu proyek dan proyek lainnya.
Kurang lebih telah terstandardisasi.
Kriteria Penilaian
·     Lebih subjektif.
·     Terdapat kriteria yang unik untuk masing-masing audit.
·     Kurang subjektif.
·     Kriteria untuk semua kegiatan audit.
Laporan
·      Struktur dan isi laporan bervariasi.
·      Dipublikasikan secara tidak tetap (ad hoc basis).
·      Bentuk laporan kurang lebih terstandardisasi.
·      Dipublikasikan secara berkala.

JENIS AUDIT MENURUT  TUJUAN AUDIT : 
Selain audit kinerja itu sendiri, ada beberapa jenis audit lagi menurut tujuan auditnya yaitu :

A. Audit Keuangan
   Audit keuangan adalah audit atas laporan keuangan. Audit (pemeriksaan) keuangan bertujuan untuk memberikan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan, tentang kesesuaian antara laporan keuangan yang disajikan oleh manajemen (dalam hal ini pemerintah) dengan standar akuntansi yang berlaku (dalam hal ini Standar Akuntansi Pemerintahan/SAP). Hasil dari audit keuangan adalah opini (pendapat) audit mengenai kesesuaian laporan keuangan dengan SAP. Sesuai dengan Undang-Undang 15 Tahun 2004, kewenangan melakukan audit keuangan berada di tangan BPK. APIP tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan audit keuangan atas laporan keuangan instansi pemerintah. Namun demikian, sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah, APIP berkewajiban melakukan reviu (intern) atas laporan keuangan yang disusun oleh kementerian/lembaga/
pemerintah daerah. Tujuan pelaksanaan reviu intern tersebut adalah, untuk meyakinkan bahwa penyusunan laporan keuangan instansi pemerintah telah sesuai dengan SAP. Dengan demikian pada waktu diaudit oleh BPK tidak terdapat lagi permasalahan, yang menyebabkan BPK memberikan opini atas laporan keuangan pemerintah selain Wajar Tanpa Pengecualian atau setidaknya Wajar Dengan Pengecualian.

B. Audit Kinerja (Operasional)
   Audit kinerja adalah pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara yang terdiri atas pemeriksaan aspek ekonomi dan efisiensi serta pemeriksaan aspek efektivitas. Dalam melakukan audit kinerja, auditor juga menguji kepatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan serta pengendalian intern. Audit kinerja menghasilkan temuan, simpulan, dan rekomendasi. Kriteria yang digunakan dalam audit kinerja adalah ekonomis, efisien, dan efektif, karena itu, audit kinerja/operasional lazim dikenal dengan sebutan audit 3E. audit operasional memiliki ciri atau karakteristik antara lain sebagai berikut:
  • bersifat konstruktif dan bukan mengkritik 
  • tidak mengutamakan mencari-cari kesalahan pihak auditi
  • memberikan peringatan dini, jangan terlambat
  • objektif dan realistis
  • bertahap
  • data mutakhir, kegiatan yang sedang berjalan
  • memahami usaha-usaha manajemen (management oriented)
  • memberikan rekomendasi bukan menindaklanjuti rekomendasi


C. Audit dengan Tujuan Tertentu
   Audit dengan tujuan tertentu adalah pemeriksaan yang tidak termasuk dalam pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja/audit operasional. Dalam jenis audit tersebut termasuk diantaranya audit ketaatan dan audit investigatif. Audit ketaatan adalah audit yang dilakukan untuk menilai kesesuaian antara kondisi/pelaksanaan kegiatan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Audit investigatif adalah audit yang dilakukan untuk membuktikan apakah suatu indikasi penyimpangan/kecurangan benar terjadi atau tidak terjadi. Jadi fokus audit investigatif adalah membuktikan apakah benar kecurangan telah terjadi.

JENIS AUDIT MENURUT PIHAK YANG MELAKUKAN AUDIT

A. Audit Intern
   Audit intern adalah audit yang dilakukan oleh pihak dari dalam organisasi auditi. Pengertian organisasi auditi dalam hal ini harus dilihat dengan sudut pandang yang tepat. Organisasi auditi misalnya adalah pemerintah daerah, kementerian negara,lembaga negara, perusahaan, atau bahkan pemerintah pusat. Sebagai contoh, untuk pemerintah daerah, maka audit intern adalah audit yang dilakukan oleh aparat pengawasan intern daerah yang bersangkutan (Bawasda). Sedangkan pada organisasi kementerian negara audit intern, dilakukan oleh inspektorat jenderal departemen dan dalam organisasi pemerintah pusat audit intern dilakukan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Audit intern dilaksanakan dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan dalam manajemen. Jadi pelaksanaan audit intern lebih diarahkan pada upaya membantu bupati /walikota /gubernur/menteri /presiden meyakinkan pencapaian tujuan organisasi.

B. Audit Ekstern
    Audit ekstern adalah audit yang dilakukan oleh pihak di luar organisasi auditi. Dalam pemerintahan Republik Indonesia, peran audit ekstern dijalankan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). BPK menjalankan audit atas pengelolaan keuangan negara (termasuk keuangan daerah) oleh seluruh organ pemerintahan, untuk dilaporkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Namun demikian, dengan merujuk pembahasan di atas, maka untuk menentukan apakah suatu audit merupakan audit ekstern atau intern harus merujuk pada lingkup organisasinya. Sebagai contoh, audit yang dilakukan oleh BPKP terhadap departemen/lembaga merupakan audit ekstern bagi departemen/lembaga yang bersangkutan, namun merupakan audit intern dilihat dari sisi pemerintah RI.


Links: